
Jalan Kaki 21 Kilometer. Sumber gambar: usnews
Pas dua minggu menjelang Jogja Marathon 2018. Masa ini adalah peralihan dari puncak latihan menuju tapering alias mulai mengurangi porsi latihan intens. Mengurangi bukan berhenti latihan. Tujuan dari mengurangi tidak lain untuk memastikan pada hari H, tubuh berada dalam kondisi 100% fit.
Dua bulan fokus untuk lari, bagi saya adalah siksaan luar biasa. Nggak ada jalan-jalan, nggak ada sepedaan. Sementara Pamela Anderson menjadi finisher NYC Marathon tanpa latihan, saya masih juga merasa belum mendapatkan hasil maksimal.
Antara rasa bosan tapi di sisi lain saya harus menyelesaikan apa yang saya mulai, tepat di hari pertama bulan April, ujung dari long weekend, saya memutuskan jalan kaki saja sejauh jarak half marathon, 21 kilometer. Rekor terakhir saya jalan kaki adalah 16 kilometer bareng teman. Kali ini saya sengaja tidak mengajak teman karena ingin membandingkan waktu yang saya habiskan untuk lari dengan pace lambat dengan jalan kaki. Temanya bukan jalan santai.
Saya memulai dari pukul 05.30. Langit mulai terang, matahari belum muncul jelas. Bekal saya hanya air hangat madu dalam botol kecil. Sarapan dengan 2 buah pisang satu jam sebelumnya. Karena niatnya memang jalan, saya berusaha untuk tidak berlari. Kecuali untuk menyeberang jalan. Hanya dua kali dan tidak begitu panjang.
Kendaraan di Jalan Wonosari berhubung masih agak pagi, belum terlalu ramai. Para pesepeda sesekali melewati saya, mungkin mau naik ke Bukit Bintang. Latihan ke arah sana sebenarnya juga menantang, tapi untuk latihan di ketinggian, saya sudah nyaman di Kaliurang dengan udara yang sejuk dan tidak banyak lalu-lalang kendaraan.
Setengah jam kemudian, matahari mulai memperlihatkan kekejamannya dengan sinar oranye lurus mengarah tepat ke muka saya, mulai memancing butir-butir keringat keluar dari seluruh pori-pori. Saya tahu matahari ini baik karena memberikan gizi di saat orang-orang masih enak-enak tidur di kamarnya masing-masing. Berkeringat ketika masih pagi otomatis membuat kacamata beruap. Ini yang membuat saya lebih suka latihan tanpa kacamata. Tapi untuk di jalan besar, saya pikir-pikir juga.
Sepuluh kilometer pertama, saya capai dengan waktu 2 jam kurang. Lari 10K masih di sekitar 1 jam 20 menit. Tidak selisih jauh. Pada kilometer kelima, kecepatan agak saya naikkan, posisi tangan persis ketika lari. Rupanya ada bedanya dengan tangan hanya lurus di samping badan. Itu membuat ada daya dorong yang signifikan. Pace rata-rata 10. Setengah perjalanan, semuanya oke. Lanjut ke setengah berikutnya, di kilometer 15, rasa nyut-nyutan di kaki mulai menyerang, cuaca semakin panas dan membuat keringat makin mengucur deras. Saya sempat berhenti mengisi botol air minum yang sudah kosong dengan air mineral biasa. Saat jalan kaki, rasa hausnya tidak separah ketika berlari, tapi hidrasi sama utamanya.
Lengan kanan saya sempat disenggol spion mobil dari arah belakang. Saya nggak ngerti kenapa mobil itu jalannya terlalu ke pinggir. Untungnya tidak begitu sakit. Jalanan mulai ramai dengan kendaraan dan pesepeda dari dan arah ke Prambanan.
Saat melihat plang hijau arah ke Ratu Boko, mulai dari kepala sampai ke kaki itu sudah sakit semua. Kalau dipikir-pikir, sepertinya lari kok ya tidak semelelahkan ini, atau mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi buktinya hingga dua hari kemudian, sekitar tulang kering dan pinggang masih menyisakan ketidaknyamanan.
Saya terus mengecek pergerakan waktu. Memastikan kecepatan tidak berkurang drastis. Jangan sampai lewat dari 4 jam. Pada 3 kilometer terakhir, saya memastikan jika bisa menyelesaikan kegilaan ini kurang dari 4 jam. Apa yang perlu saya lakukan adalah; jangan berhenti. Sekali saja saya berhenti, maka saya akan terus mencoba mengulur-ngulur waktu.
Dan target itu tercapai dalam 3 jam 39 menit. Rasanya begitu selesai, ingin langsung rebahan di pinggir jalan tapi kok ya malu. Yang bisa dilakukan adalah cooling down dan minum serakus-rakusnya. Menarik napas, menenangkan diri. Kapan-kapan, kalau ada event jalan kaki jarak jauh, saya ikutan ah.
Jogja 3 April 2018