Spot Wisata Murah Meriah di Kepulauan Riau |
Masih bercerita tentang Kepulauan Riau. Kali ini saya akan menyebut beberapa spot wisata murah tapi asyik untuk Anda juga coba jika berkesempatan ke sana. Saya tidak akan membahas tentang Jembatan Barelang, sebab di postingan sebelumnya sudah ada.
Yang mau saya bahas beberapa spot wisata di Batam, Tanjung Pinang, dan sekitarnya. Ketika berkeliling kota Batam, saya mampir sejenak di gedung Astaka MTQ Dataran Engku Putri Batam Centre. Nuansa religinya masih tersisa meskipun sudah tidak digunakan setelah perhelatan MTQ XXV ditutup. Bagaimana tidak, atap kubah berwarna hijau mengingatkan saya akan kubah raudhah di Masjid Nabawi. Tentunya tidak lepas dengan adanya nuansa Melayu yang kental terlihat dari warna-warna cerah di beberapa titik. Lokasi gedung ini berdekatan dengan kantor wali kota. Dipisahkan oleh sebuah lapangan luas, biasa dimanfaatkan untuk area olah raga di pagi atau sore hari Kemegahan ini memakan dana pemerintah sekitar 9 miliar rupiah. Dataran Engku Putri sebenarnya adalah ruang hijau yang direncanakan sebagai lokasi Kebun Raya Batam. Masuk ke area ini sama sekali tidak ditarik bayaran. Silakan berfoto sepuasnya. Atau, jika sudah lelah mengitari lapangan, yuk ke Mega Mall.
Jangan salah, saya ke sini bukan buat nge-mall. Tapi langsung menuju jembatan penyeberangan menuju pelabuhan ferry. Saya bukan bertujuan ke Singapura kok. Hanya mau melihat seperti apa suasana pelabuhan internasionalnya. Jika tidak mau melewati jembatan ini, langsung ke gedung pelabuhan juga bisa kok. Mobil-mobil yang parkit sudah sangat banyak. Saya kemudian memilih salah satu kafe di pelabuhan. Di sana tersedia menu camilan sampai makanan berat. Ada meja kosong di luar. Itulah yang saya pilih. Ketika melihat daftar harga, saya mulai maklum. Di Batam, sepertinya wajar kalau harga makanan mahal dibandingkan dengan Jogja. Bisa dua kali lipatnya. Saya menikmati the-O atau teh manis panas. Begitu orang setempat menyebutnya. Teh obeng berarti es teh manis. Katanya sih, istilah O dan obeng ini asalnya dari bahas Tiongkok artinya kosong, obeng adalah serapan dari aping alias es teh. Versi lain menyebutkan bahwa obeng identik dengan bentuk es batu yang bolong di tengah karena diambil menggunakan obeng.
Setelah menghabiskan sepiring singkong goreng dan segelas the-O, saya pun bersiap menuju Pelabuhan Tanjung Uban.
Sejam setelah pelayaran, saya pun tiba di Tanjung Pinang. Saya pikir, Tanjung Uban ke pusat kota tidak jauh. Udara yang begitu panas pun membuat saya tidak nyaman meskipun mobil ber-AC. Perjalanan menuju kota Tanjung Pinang juga menjadi hiburan tersendiri. Belum banyak perumahan penduduk. Beda sekali dengan Jawa yang sangat mudah menemukan kepadatan penduduk. Tanah-tanah yang gersang, tanaman-tanaman yang hebatnya tahan dengan temperatur tinggi, kontur jalan yang tidak lurus seperti jalan tol, membuat saya malas untuk tidur. Toh sebenarnya hanya butuh sejam perjalanan.
Sesampainya di rumah kakak saya selaku tuan rumah, saya pun beristirahat danberdoa semoga diberi kesehatan selalu dalam perjalanan ini.
Hari berikutnya, saya diajak city tour. Lagi-lagi jalanan sesekali naik dan turun. Kami melewati pantai yang sedang tahap pembangunan. Pantainya di bagian kota memang tidak menarik. Berbeda dengan pantai di Lagoi, Karimun, maupun Natuna. Kami lalu mampir makan siang di Restoran Sederhana dan memilih rooftop. Dari sana, saya bisa melihat di kejauhan Masjid Raya Penyengat dengan kuning terang dan kubahnya seolah bersinar.

Masjid Raya Dompak
Sebelum ke Pulau Penyengat untuk melihat masjid kuning dari kejauhan itu, saya diajak ke Dompak. Jangan bayangkan kalau pulau ini akan ada resor mewah dan bule-bule berlalu-lalang. Ini adalah pulau yang baru dalam tahap pembangunan. Jangan takut, untuk jalanannya sudah beraspal mulus. Ada beberapa papan petunjuk hijau yang akan memudahkan Anda ketika menemui perempatan. Apa yang bisa dilihat di Dompak adalah sebuah masjid megah di atas bukit. Untuk sampai ke sana, bisa juga terlebih dulu memutari area perkantoran pemerintah provinsi. Di sanalah gedung sang gubernur dan sejumlah kantor dinas lainnya. Letak masjid ini cukup jauh dari kantor gubernur, hingga saya bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan pembangunannya begitu megah jika bukan ditujukan sebagai tempat ibadah para pejabat negara?
Selain masjid, ada juga pemandangan di tengah laut sana Jembatan Dompak. Jembatan ini pernah roboh bahkan sebelum diresmikan. Ini adalah jembatan alternatif bagi orang yang ingin menyeberang dari dan ke Tanjung Pinang, langsung ke jantung kota Tanjung Pinang.
Nah tidak jauh dari ujung lain Jembatan Dompak, kami memasuki daerah pecinan yang disebut Pelantar. Di mana-mana, bentuknya kampung Tiongkok yang hampir sama. Dari hunian yang bertingkat-tingkat, kedai makanan, sampai pertokoan berjejer sepanjang jalan. Pelabuhan yang akan menyeberangkan saya ke Pulau Penyengat terdapat di sana. Ada pula pelabuhan domestik dan internasional. Tentunya masing-masing punya jalan masuk yang berbeda-beda.

Pelabuhan penyeberangan menuju Pulau Penyengat
Penyeberangan ke Penyengat hanya seperempat jam. Sekitar lima puluh meter dari pelabuhan terletak Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun salah satunya dengan campuran putih telur. Ini adalah masjid kebanggaan warga Penyengat. Kapasitas jamaah di dalam masjid tidak begitu besar, terlebih area laki-laki pasti selalu lebih besar ketimbang perempuan. Di luar masjid terdapat dua pondok kayu memanjang sebagai tempat jamaah yang ingin beristirahat. Semua jamaah memang diminta meninggalkan masjid jika sudah selesai beribadah. Terdapat dua pondok yang masing-masing bisa menampung sekitar 30 orang. Di siang hari, pondok-pondok itu betul-betul bermanfaat. Lantai di luar masjid terasa begitu menyengat di kaki. Mudah-mudahan ada orang baik yang menyumbangkan rezekinya agar lantai diganti dengan marmer putih yang mampu menyerap panas seperti di Masjidil Haram. Dari pelataran masjid, saya bisa melihat birunya laut dan kapal-kapal yang berlayar.
Selagi berada di Penyengat, jangan lewatkan dua hal. Makan ikan bakar dan naik becak motor. Bumbu ikan bakar ala Penyengat ini menggunakan santan, tidak begitu pedas di lidah saya. Jika Anda memilih makan di salah satu warung ikan bakar. Di meja akan disediakan cerek. Mohon tidak meminum airnya, sebab itu untuk cuci tangan. Sambil menunggu ikan selesai dibakar, silakan mencicipi otak-otak yang terbuat dari bahan ikan tenggiri atau sotong. Harganya rata-rata sama, seribu rupiah. Bungkusannya memang panjang, tapi isinya cuma sepanjang ibu jari.
Kalau becak motor adalah hiburan lain yang bisa dicoba. Tarif normalnya 30 ribu rupiah. Saya dibawa berkeliling menyusuri sebagian pulau dekat tepi pantai. Rute ini melewati kompleks makam para raja dan juga sebuah contoh rumah adat khas Melayu. Ada sekelompok pemusik yang menghibur pengunjung di dalam rumah ada. Masuk gratis kok. Anda hanya mengeluarkan uang jika ingin membeli souvenir. Harga souvenir pun murah-murah.
Di seberang rumah adat adalah sebuah pelabuhan. Tapi belum ada kapal merapat di sana. Udah yang begitu panas membuat saya enggan berjalan terlalu ke tengah. Orang-orang pun sepertinya juga malas melangkah lebih jauh. Di tempat pemberhentian ini tersedia warung makan. Ada juga kelapa muda untuk menawar dahaga. Setelah berkeliling sejauh dua kilometer, becak kembali mengantarkan saya ke depan masjid.
Nah itu tadi beberapa spot wisata murah di Kepulauan Riau. Cukup tiket pesawat saja yang terbilang mahal. Jika ingin senang-senang tanpa menguras habis isi dompet, silakan coba cara saya ini.
Jogja, 31 Desember 2015